Kamis, 28 Mei 2009

Solusi Islam untuk mengatasi krisis global

SOLUSI ISLAM UNTUK MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL
Oleh : Ir. H. Budi Suherdiman Januardi, MM.


Islam sebagai satu-satunya ad-dien yang Alloh Swt ridloi dan pilih bagi umat manusia sejak era Nabi Adam As dan disempurnakan para era kerasulan Muhammad Saw dimaksudkan untuk meregulasi tatanan kehidupan manusia agar selamat baik di dunia maupun akhirat. Sebagai sebuah sistem, dienul-Islam yang mencakup aqidah, akhlaq dan syari’at merupakan undang-undang ilahiyah berisi berbagai aturan kehidupan.

Diantara keagungan sistem Islam adalah sistem perekonomian yang sering kita sebut dengan ekonomi syari’ah. Jika instrumen ekonomi syari’ah diimplementasikan, maka beberapa masalah krusial perekonomian bisa diantisipasi sehingga tidak menimbulkan krisis ekonomi maupun finansial sebagaimana yang saat ini tengah terjadi.

Beberapa instrumen ekonomi Islam diantaranya adalah zakat serta sistem mata uang dinar dan dirham yang telah terbukti mampu mengatasi berbagai gejolak perekonomian maupun finansial, sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah masa kejayaan Islam ketika institusi kepemimpinan Islam (khilafah) masih berdiri.

ZAKAT

Zakat sebagai salah satu pilar (rukun) Islam merupakan instrumen strategis dari sistem perekonomian Islam yang dapat memberikan kontribusi besar terhadap penanganan problem kemiskinan serta problem sosial lainnya, karena zakat dalam pandangan Islam merupakan “hak fakir miskin yang tersimpan dalam kekayaan orang kaya’.

Sebagai sebuah kewajiban, maka zakat merupakan kewajiban minimal dari harta seorang muslim, yang menurut DR. Didin Hafidhuddin “zakat adalah batas kekikiran seorang muslim”.

Menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi, zakat merupakan suatu sistem yang belum pernah ada pada agama selain Islam juga dalam peraturan-peraturan manusia. Zakat mencakup sistem keuangan, ekonomi, sosial, politik, moral dan agama sekaligus. Zakat adalah sistem keuangan dan ekonomi karena ia merupakan pajak harta yang ditentukan. Sebagai sistem sosial karena berusaha menyelamatkan masyarakat dari berbegai kelemahan. Sebagai sistem politik karena pada asalnya negaralah yang mengelola pemungutan dan pembagiannya. Sebagai sistem moral karena ia bertujuan membersihkan jiwa dari kekikiran orang kaya sekaligus jiwa hasud dan dengki orang yang tidak punya. Sebagai sistem keagamaan karena menunaikannya adalah salah satu tonggak keimanan dan ibadah tertinggi dalam mendekatkan diri kepada Alloh Swt.

Zakat tidak hanya difahami secara sempit yang hanya ditunaikan setahun sekali pada momentum bulan Ramadlan melalui pembayaran zakat fitrah, akan tetapi ruang lingkup zakat sangatlah luas. Selain zakat fitrah, seorang muslim yang telah masuk pada kategori ‘muzzaki’ yang kekayaannya telah mencapai ‘nishab’ (jumlah minimal yang harus dipenuhi sebelum mengeluarkan zakat yaitu senilai 85 gram emas) dan harus dibayarkan setiap tahun, juga wajib menunaikan zakat maal (zakat kekayaan) yang menurut DR. Yusuf Al-Qardhawi meliputi: Zakat binatang ternak; Zakat emas dan perak/zakat uang; Zakat kekayaan dagang; Zakat pertanian; Zakat madu dan produksi hewani; Zakat barang tambang dan hasil laut; Zakat investasi pabrik, gedung, dll; Zakat pencarian dan profesi; serta Zakat saham dan obligasi.

Secara teknis, pemungutan dan pendistribusian zakat akan sangat efektif jika dilakukan oleh sebuah lembaga yang mempunyai otorisasi serta kekuatan memaksa dalam sebuah pemerintahan. Bagian dari institusi pemerintah yang berkompeten melakukan pemungutan zakat yaitu Badan Amil Zakat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Alloh Swt dalam firman-Nya dalam Surat At-Taubah (9) ayat 103:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo'alah untuk mereka. Sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Sejarah mencatat, bahwa persoalan kesejahteraan masyarakat merupakan fokus utama kepedulian dari para pemimpin Islam. Betapa besarnya kepedulian para pemimpin Islam terhadap persoalan tersebut diantaranya diperlihatkan oleh sikap tegas Abu Bakr Shiddiq ra sebagaimana terlihat dari komitmennya melalui pidato sesaat setelah pengukuhan sebagai Khalifah pertama sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw, dimana beliau mengatakan:
“.......yang terlemah diantara kamu aku anggap terkuat sampai aku mengambil dan memulangkan haknya, yang terkuat diantara kamu aku anggap terlemah sampai aku mengembalikan hak si lemah dari tangannya....…”.
Komitmen serta sikap tegas Abu Bakr Shiddiq ra tersebut kemudian terlihat melalui implementasi salah satu programnya dalam penanganan zakat, dan beliau mengambil sikap tegas terhadap para pihak dari kalangan muslim yang masih enggan menunaikan kewajiban zakat. Secara konsisten kebijakan tersebut kemudian diteruskan secara estapeta oleh para khalifah sesudahnya.

Dalam implementasi sistem pemerintahan Islam, pengelolaan zakat ternyata tidak hanya mampu meminimalisir angka kemiskinan, bahkan sampai mampu mengeliminir tingkat kemiskinan dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Karena dengan zakat, status sosial warga negara yang semula merupakan pihak yang berhak menerima zakat (mustahik), berubah status menjadi pihak yang berkewajiban menunaikan zakat (muzzaki), dimana warga negara bersangkutan telah bergeser dari miskin menjadi kaya.

Sejarah monumental masa kepemimpinan Islam zaman kekhilafahan Daulat Umayyah yaitu saat Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) memimpin-yang walaupun singkat, selama 2,5 tahun (30 bulan) telah membuktikan bahwa kesejahteraan masyarakat secara merata benar-benar terwujud.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam buku “Umar bin Abdul Aziz Perombak Wajah Pemerintahan Islam”, tulisan Imaduddin Kholil yang diterbitkan oleh Pustaka Mantiq, Solo (1992) pada halaman 142-144:
“Pada masanya keamanan dirasakan oleh setiap penduduk dimanapun mereka berada di wilayah kedaulatan Islamiyah. Hampir semua warga negara menjadi kaya. Saat itu tidak lagi ditemukan fakir miskin yang berhak menerima zakat dan shadaqah. Keadaan ini membuat para orang kaya kesulitan untuk memecahkan persoalan, kewajiban yang harus ditunaikan. Kesejahteraan yang merata dapat dicerminkan lewat ucapan Yahya bin Said, amil zakat dari Khalifah untuk daerah Afrika, beliau berkata: ‘Aku diutus Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk mengelola zakat di Afrika. Setelah terkumpul semua, aku kebingungan mencari siapa yang harus kuberi. Di sana tiada seorangpun yang fakir dan yang mau menerima pemberian pembagian zakat. Itu disebabkan Umar telah membuat kaya penduduknya. Dan akhirnya zakat itupun kupakai untuk menebus para budak, membebaskan mereka dan menggabungkannya dengan para muslimin yang lain’.

Problem kemiskinan yang semakin hari semakin tak terkendali, sesungguhnya terletak pada besarnya ketimpangan (disparitas) kekayaan antara yang kaya dan miskin. Dalam pengimplementasian zakat, persoalan pendistribusiannya yang tepat sasaran sesuai dengan para fihak yang berhak menerimanya sesuai dengan yang telah ditetapkan Al Quran akan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya mendokrak tingkat kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat yang masih terbelit dengan belenggu kemiskinan harta.

Dalam pandangan Islam, sasaran zakat merupakan hal sangat penting, sehingga terdapat hadits yang menjelaskan bahwa untuk menentukan sasaran zakat seakan-akan Alloh tidak rela bila Rasulullah Saw sendiri yang menetapkannya, sehingga Alloh Swt menurunkan ayat ke-60 dalam Al-Quran Surat At-Taubah, dimana disebutkan 8 sasaran (asnaf) untuk pendistribusian zakat yaitu:
(1) Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya;
(2) Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, "Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap atau dua suap nasi, satu atau dua biji kurma, tapi orang miskin itu ialah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah, dan merekapun tidak pergi meminta-minta pada orang".
Berkenaan dengan golongan fakir dan miskin, DR. Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan beberapa hal:

* Fakir miskin hendaklah diberikan harta zakat yang mencukupi kebutuhannya sampai dia bisa menghilangkan kefakirannya. Bagi yang mampu bekerja hendaknya diberikan peralatan dan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi yang tidak mampu lagi bekerja (orang jompo, cacat fisik), hendaknya disantuni seumur hidupnya dari harta zakat;
* Dengan demikian jelas bahwa tujuan zakat bukanlah memberi orang miskin satu atau dua dirham, tapi dimaksudkan untuk memberikan tingkat hidup yang layak. Layak sebagai manusia yang didudukan Alloh Swt sebagai khalifah di muka bumi, dan layak sebagai muslim yang telah masuk ke dalam agama keadilan dan kebaikan, yang telah masuk ke dalam ummat pilihan dari kalangan manusia;
* Tingkat hidup minimal bagi seseorang ialah dapat memenuhi makan dan minum yang layak untuk diri dan keluarganya, demikian pula pakaian untuk musim dingin dan musim panas, juga mencakup tempat tinggal dan keperluan-keperluan pokok lainnya baik untuk diri dan tanggungannya.

(3) Pengurus zakat (Amil zakat): adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, dimana Alloh Swt menyediakan upah bagi mereka dari harta zakat sebagai imbalan. Dimasukkannya amil sebagai ashnaf menunjukkan bahwa zakat dalam Islam bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang secara individu, tapi merupakan tugas jama’ah bahkan menjadi tugas negara.
(4) Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
(5) Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
(6) Orang yang berhutang (gharimin): yaitu orang yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri (seperti untuk nafkah keluarga, sakit, mendirikan rumah dsb). Termasuk didalamnya orang yang terkena bencana sehingga hartanya musnah. Juga orang yang berhutang untuk kemaslahatan orang lain, seperti untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
(7) Untuk kepentingan sabilillah (pada jalan Allah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Diantara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
(8) Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang perjalannya tidak dimaksudkan untuk maksiat dan dia mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
Pengimplementasian zakat yang profesional, transparan dan akuntabel akan berimplikasi terhadap lancarnya perputaran perekonomian, karena dengan memobilisasi potensi dana umat dari zakat tersebut harta tidak lagi hanya berputar di kalangan para pihak yang memiliki kekayaan saja, akan tetapi terdistribusi secara adil. Pendistribusian zakat secara tepat sasaran juga dapat memberikan akses produktif bagi orang-orang miskin.

Pada sisi ini kita dapat melihat bahwa betapa indahnya ajaran Islam yang sangat peduli terhadap persoalan sosial kemasyarakatan.



SISTEM MATA UANG DINAR DAN DIRHAM

Instrumen kedua yang sangat strategis dalam perekonomian Islam adalah sistem mata uang dinar dan dirham. Hal ini mengingat bahwa sistem moneter dalam Islam adalah berbasis emas dan perak. Diterapkannya sistem perdagangan dengan menggunakan emas dan perak dalam mata uang dinar (Gold dinar) dan dirham dalam kekhilafahan Islam telah membuktikan terkendalinya angka inflasi.

Inflasi sesungguhnya merupakan suatu kemudlaratan ekonomi yang sejatinya harus ditekan, karena dengan terjadinya inflasi berarti telah terjadi sebuah fenomena yang signifikan terhadap meningkatnya kemiskinan masyarakat. Dengan demikian, maka penerapan sistem mata uang dinar dan dirham secara luas, akan ikut mengurangi tingkat inflasi yang selama ini terus membayangi sistem perekonomian berbagai negara akibat penerapan sistem ekonomi konvensional (kapitalisme) yang menggunakan uang kertas (fiat money) yang tak terkendali. Sehingga berkurangnya angka inflasi sebagai dampak positif dari diterapkannya gold dinar, sesungguhnya merupakan upaya menghilangkan belenggu kemiskinan masyarakat.

Dengan demikian, maka jika stabilitas perekonomian suatu negara ingin terwujud, solusi jitunya adalah dengan “bergantinya penggunaan sistem keuangan dari uang kertas ke uang emas”. Kita yakin bahwa sejalan dengan akan kembalinya kejayaan Islam dan umatnya untuk kali ke dua, penerapan kembali dinar dan dirham juga merupakan suatu keniscayaan, karena penerapan dinar akan menciptakan kemashlahatan dan keadilan ekonomi.

Jika kita simak, ternyata dengan diterapkannya mata uang dinar dan dirham akan didapatkan beberapa keunggulan, baik secara mikro maupun makro ekonomi, diantaranya:

* Gold dinar memiliki stabilitas tinggi yang nilainya tidak fluktuatif sehingga jika dikomparasi dengan mata uang lainnya tidak akan terdepresiasi bahkan terus terapresiasi. Sejarah telah membuktikan bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw, harga seekor ayam harganya satu dirham, dimana dengan uang yang sama (satu dirham saat ini setara dengan tiga gram perak), seekor ayam masih bisa kita dibeli. Hal ini membuktikan bahwa emas (dinar) dan perak (dirham) merupakan extra ordinary currency (anti inflasi). Sehingga pada masa kerasulan Muhammad Saw yang dilanjutkan oleh Khulafaur-Rasyidin dan para Khalifah sesudahnya dalam pengelolaan pemerintahannya sangat jarang terjadi resesi ekonomi.
* Gold dinar merupakan mata uang yang berbasis komoditi (commodity money), karena adanya keseimbangan antara nilai instrinsik dengan nilai nominal yang terdapat pada gold dinar. Bahkan nilai instrinsik dari gold dinar merupakan garansi dan perlindungan jika terjadinya situasi eksternal yang tidak diinginkan.
* Penerapan dinar dan dirham akan terhindarkan dari upaya menjadikan uang sebagai komoditas. Krisis ekonomi global saat ini diantaranya terjadi karena tidak difungsikannya secara penuh uang sebagaimana mestinya sebagai alat tukar, akan tetapi telah bergeser menjadi komoditas yang diperjualbelikan sehingga sangat menguntungkan bagi para spekulan pada berbagai transaksi maya di pasar uang. Kondisi tersebut akan menguntungkan bagi para pihak yang memiliki dana banyak untuk mengendalikan pasar uang, sehingga terjadilah ketergantungan suatu negara yang labil dalam hal politik maupun ekonominya terhadap negara yang memiliki power. Secara politis, penerapan gold dinar dalam sistem keuangan suatu negara akan memandirikan suatu negara, sehingga tidak lagi tergantung pada dominasi negara luar. Karena penerapan sistem ekonomi dengan menggunakan keuangan gold dinar, berarti menerapkan sistem ekonomi berbasis keadilan (fairness), yang mana faktor keadilan ini tidak dimiliki oleh sistem manapun selain sistem Islam.
* Tidak seperti halnya mata uang kertas yang sangat mudah untuk dipalsukan, maka penggunaan gold dinar dapat menghilangkan upaya pemalsuan uang dari pihak-pihak tertentu.

Tidak terjadinya jurang pemisah yang sangat lebar antara si kaya dan si miskin dengan terdistribusinya pendapatan melalui pengelolaan zakat yang tepat sasaran serta diberlakukannya mata uang dinar dan dirham akan menjadikan sebuah keseimbangan antara sektor finansial dengan sektor riil, karena jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian, sehingga perkembangan sektor keuangan tidak akan berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor ril. Hal ini akan berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi sekaligus terciptanya stabilitas ekonomi masyarakat.

Dalam ekonomi Islam, sektor finansial selalu mengikuti pertumbuhan sektor ril. Inilah perbedaan konsep ekonomi dalam Islam dengan konsep ekonomi konvensional yang kapitalistik, dimana dalam ekonomi kapital, pemisahan antara sektor finansial dengan sektor ril merupakan keniscayaan. Implikasi dari adanya pemisahan itu, maka ekonomi dunia sangat rawan terhadap gonjang-ganjing krisis. Hal ini disebabkan pelaku ekonomi menggunakan uang tidak untuk kepentingan sektor ril, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang semata. Akibat adanya spekulasi tersebut, maka jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang pada sektor ril.

Dengan diterapkannya sistem ekonomi syari’ah, maka kita akan terhindar dari gharar (spekulasi); maisyir maupun riba, sehingga keberkahan Alloh Swt akan dirasakan bersama, sebagaimana yang Alloh Swt ingatkan dalam Al Quran Surat Al A’raf ayat 96:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Dalam menghadapi berbagai malapetaka (fitnah) sekarang ini, terutama menghadapi krisis ekonomi global yang konstelasinya cenderung terus memburuk, beberapa peringatan dari lisan seorang yang suci, Muhammad Saw kiranya perlu kita renungkan bersama:

Peringatan Pertama : Hadits Riwayat Ibnu Majah; Al-Bazar; Al-Hakim; Al-Baihaqi dan Abu Nu’aim : “Wahai kaum muhajirin, ada lima hal yang aku berlindung kepada Alloh agar kalian tidak mengalaminya:

* Tidaklah perbuatan keji (zina) nampak pada suatu kaum hingga mereka terang-terangan melakukannya, melainkan mereka akan ditimpa berbagai macam wabah penyakit (tha’un) dan kelaparan yang belum pernah menimpa orang-orang sebelum mereka;
* Tidaklah suatu kaum yang mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan ditimpa ‘as-sinin’ (paceklik, kemarau panjang), sulitnya mendapatkan makanan, dan jahatnya (sikap zhalim) penguasa terhadap mereka;
* Tidaklah suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta mereka, melainkan akan terhalang hujan dari langit, kalau saja bukan karena binatang, niscaya tidak diturunkan hujan atas mereka;
* Tidaklah suatu kaum melanggar janji Alloh dan Rasul-Nya, melainkan Alloh menjadikan mereka dikuasai musuh-musuh yang bukan dari golongan mereka, kemudian musuh mereka itu akan mengambil harta yang mereka miliki;
* Dan selama pemimpin-pemimpin mereka tidak menerapkan hukum Alloh dan memilih-milih apa yang Alloh turunkan didalam kitab-Nya, niscaya Alloh akan menjadikan al-ba’s (bala bencana, kekerasan dan keributan) terjadi di tengah-tengah mereka”.

Peringatan Kedua : Hadits Riwayat Ibnu Najar (Dalam Kitab ‘Muntakhob Kanzu’l-Ummal):
“Tidaklah Alloh murka terhadap suatu umat, kecuali akan dinaikkannya harga-harga, hancurnya pasar (dimana angka inflasi tinggi sedangkan daya beli masyarakat rendah) serta akan lebih banyak berbagai bentuk kemungkaran, dan semakin hebatnya penyelewengan-penyelewengan di bidang hukum yang dilakukan oleh para penguasa. Maka sebagai akibat dari kondisi seperti itu orang-orang kaya tidak lagi menunaikan kewajiban berzakat; para penguasa tidak lagi memiliki harga diri (karena hilangnya rasa malu) serta orang-orang fakir (miskin) tidak lagi melaksanakan kewajiban shalat”.

Oleh karena itu, tiada jalan lain untuk dapat keluar dari berbagai persoalan hidup termasuk krisis ekonomi global sekarang ini yaitu dengan kembali pada penerapan sistem Islam dalam berbagai lapangan kehidupan. Tiada lagi yang diagungkan kecuali hanya Alloh Swt yang dengan kegagahan-Nya berada di atas ketinggian, di atas Arsy-Nya yang agung. Dia-lah yang mengetahui berbagai kelemahan dan persoalan hamba-Nya. Dengan kasih sayang-Nya, Alloh Swt telah memilih Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan untuk menuntun manusia agar terselamatkan.

Mengakhiri tulisan ini, sebuah ungkapan dari Umar bin Kaththab ra kiranya perlu kita simak bersama, dimana beliau pernah berujar: “Dahulu kami adalah kaum yang paling hina, lalu kami dimuliakan Alloh dengan Islam. Andaikan kami mencari kemuliaan dengan selain apa yang Alloh muliakan, tentu Alloh akan menghinakan kami”.


Wallohu a'lam

Sumber : www.dudung.net

Kamis, 16 April 2009

Sedikit Taujih

Tulisan ini diambil dari taujih seorang sahabat di milis fosei
Moga bermanfaat

Andai aku seperti sirup


Tak ada yang lebih gusar melebihi makhluk Allah yang bernama gula pasir. Pemanis alami dari olahan tumbuhan tebu ini membandingkan dirinya dengan makhluk sejenisnya yang bernama sirup.

Masalahnya sederhana. Gula pasir merasa kalau selama ini dirinya tidak dihargai manusia. Dimanfaatkan, tapi dilupakan begitu saja. Walau ia sudah mengorbankan diri untuk memaniskan teh panas, tapi manusia tidak menyebut-nyebut dirinya dalam campuran teh dan gula itu. Manusia cuma menyebut, "Ini teh manis." Bukan teh gula. Apalagi teh gula pasir.

Begitu pun ketika gula pasir dicampur dengan kopi panas. Tak ada yang mengatakan campuran itu dengan ?kopi gula pasir?. Melainkan, kopi manis. Hal yang sama ia alami ketika dirinya dicampur berbagai adonan kue dan roti.
Gula pasir merasa kalau dirinya cuma dibutuhkan, tapi kemudian dilupakan. Ia cuma disebut manakala manusia butuh. Setelah itu, tak ada penghargaan sedikit pun. Tak ada yang menghargai pengorbanannya, kesetiaannya, dan perannya yang begitu besar sehingga sesuatu menjadi manis. Berbeda sekali dengan sirup.

Dari segi eksistensi, sirup tidak hilang ketika bercampur. Warnanya masih terlihat. Manusia pun mengatakan, "Ini es sirup." Bukan es manis. Bahkan tidak jarang sebutan diikuti dengan jatidiri yang lebih lengkap, "Es sirup mangga, es sirup lemon, kokopandan," dan seterusnya.
Gula pasir pun akhirnya bilang ke sirup, "Andai aku seperti kamu."

Sosok gula pasir dan sirup merupakan pelajaran tersendiri buat mereka yang giat berbuat banyak untuk umat. Sadar atau tidak, kadang ada keinginan untuk diakui, dihargai, bahkan disebut-sebut namanya sebagai yang paling berjasa. Persis seperti yang disuarakan gula pasir. Kalau saja gula pasir paham bahwa sebuah kebaikan kian bermutu ketika tetap tersembunyi. Kalau saja gula pasir sadar bahwa setinggi apa pun sirup dihargai, toh asalnya juga dari gula pasir.
Kalau saja gula pasir mengerti bahwa sirup terbaik justru yang berasal dari gula pasir asli. Kalau saja para penggiat kebaikan memahami kekeliruan gula pasir, tidak akan ada ungkapan, "Andai aku seperti sirup!"

Sabtu, 11 April 2009

Ekonomi Indonesia di kuasai asing

(RP) - Sendi-sendi perekonomian di Indonesia dinilai telah banyak yang
berpindah ke negara lain (asing). Akibatnya, sumbangan sektor industri
terhadap PDB (product domestic bruto) cenderung stagnan bahkan menurun.
Disisi lain, utang negera terus bertambah.

“Indonesia terus mengalami de-industrialisasi, ini adalah salah satu
bukti kemunduran,” ujar Direktur International Center for Applied
Finance and Economics (Intercafe), Iman Sugema kemarin. Hal itu bisa
ditunjukkan dari mampunya menumbuhkan sektor industri sehingga mampu
menopang PDB nasional. Jika pada tahun 2004 kontribusinya sebesar 28
persen, tahun 2008 malah berada dibawah angka itu.

Akibatnya, indeks kesengsaraan rakyat atau yang biasa dikenal dengan
sebutan misery index, saat ini justru meningkat tajam. Jika pada
Desember tahun 2004 hanya 16,3 persen, maka pada bulan yang sama tahun
lalu sudah melonjak sampai 19,6 persen. Data itu memperlihatkan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang diributkan pemerintah hanya dinikmati
sekelompok kecil penduduk negeri ini. “Buktinya, tingkat kesengsaraan
rakyat makin tinggi,” cetusnya.

Ditambah lagi, dengan beragam kelangkaan bahan bakar dan kebutuhan
pokok yang selama ini sering terjadi. Selain itu jurang kesenjangan
antara si kaya dan si miskin juga semakin meningkat. Jadi, walau
Indonesia diakui sebagai penghasil konglomerat kelas kakap, misalnya
lewat indikator majalah Forbes yang tiap tahun selalu menempatkan orang
kaya baru dari Indonesia tetapi masyarakat bawahnya tetap miskin.
“Itulah kesenjangan,” tukasnya.

Sementara itu, di saat pemerintah, melenakan rakyat dengan berteriak
bahwa utang sudah lunas, diam-diam bebannya terus bertambah. Saat ini,
dari data resmi pemerintah, terbukti bahwa beban utang per kepala
penduduk Indonesia telah mencapai 11,8 juta dolar AS. Ini akan menjadi
beban bagi anak cucu kita. ”Ini angka tertinggi sepanjang sejarah. Ini
memperlihatkan bahwa pemerintahan belum bisa menghilangkan
ketergantungan terhadap utang,” lanjutnya.

Menurut dia, Indonesia juga telah kehilangan satu fundamental ekonomi
terpentingnya, yaitu stabilitas. Ciri-ciri tidak adanya stabilitas itu,
tingginya tingkat inflasi seperti pada tahun 2005 yang sebesar 18,3
persen, merupakan tertinggi sepanjang sejarah. Selanjutnya, nilai tukar
rupiah yang buruk, cadangan devisa menukik tajam, dan kolaps-nya bursa
hingga 60 persen. “Akar kegagalan ekonomi bangsa ini, karena pemerintah
memfasilitasi para pemodal asing untuk menguliti Indonesia,” ketusnya..

Ekonom Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir menyatakan, Indonesia
sama sekali sudah tidak berdaulat dalam mengatur perekonomian nasional.
Semua sektor vital sudah dikuasai asing secara merajalela. Sektor
energi, perbankan, air, dan telekomunikasi mayoritas telah dikuasai
oleh asing.(owi/ekk)

Kamis, 19 Maret 2009

Hukum MLM

Multilevel marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah praktek multilevel marketing.

Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu, masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang diikutinya.

Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) —ada juga yang diistilahkan dengan sebutan distributor— kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.

Namun, ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran) —sebagaimana istilah mereka— yang dilakukan terhadap orang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk. Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership, maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan perusahaan lain. Seorang member/distributor harus menseponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang menseponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan. Sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.

Fakta Umum Multilevel Marketing

Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing —sebagai bisnis pemasaran— tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan) , dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan) , yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus jaringan –istilah lainnya komisi kepemimpinan. Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun tidak, seperti Gold Quest. Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, —istilah lainnya sponsor, promotor— namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee (pemakelaran) .

Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi: (1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara —melalui perekrutan yang telah dia lakukan— bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.

Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.

Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar

Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:

1. Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran) .

2. Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau TCO atau apalah namanya, adalah simsar (makelar), baik bagi pemilik (malik) langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya lagi.

Mengenai kasus shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, telah banyak dinyatakan dalam hadits Nabis Saw, antara lain, sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah ra. Yang menyatakan:

“Nabi Saw, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.”*1)

Dalam hal ini, asy-Syafi’i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud bay’atayn fi bay’ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan:

Jika seseorang mengatakan: “Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000, dengan catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini. Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, sayapun menetapkan milik saya menjadi milik anda.”*2)

Dalam konteks ini, maksud dari bay’atayn fi bay’ah adalah melakukan dua akad dalam satu transaksi, akad yang pertama adalah akad jual beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu aqad.

2. Hadits dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan:

“Rasululllah Saw telah melarang dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*3)

Hadits yang senada dikemukan oleh at-Thabrani dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut:

“Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*4)

Maksud hadits ini sama dengan hadits yang telah dinyatakan dalam point 1 di atas. Dalam hal ini, Rasulullah Saw, dengan tegas melarang praktek dua akad (kesepakatan) dalam satu aqad (kesepakatan) .

3. Hadits Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban dari ‘Amr bin Syuyb, dari bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi:

“Tidak dihalalkan salaf (akad pemesanan barang) dengan jual-beli, dan tidak dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi jual-beli.”*5)

Hadits ini menegaskan larangan dalam dua konteks hadits sebelumnya, dengan disertai contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad pemesanan barang dengan pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan akad jual-beli dalam satu transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks hadits yang terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi —penganut mazhab Hanafi— bisa digunakan. Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli dengan ijarah (kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan dalam hadits tersebut.*6)

Dari dalalah yang ada, baik yang menggunakan lafadz naha (melarang), maupun lâ tahillu/yahillu (tidak dihalalkan) menunjukkan, bahwa hukum muamalah yang disebutkan dalam hadits tersebut jelas haram. Sebab, ada lafadz dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti lâ tahillu/yahillu. Ini mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua transaksi dalam satu akad, serta manath hukumnya.

Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’ mendefinisikannya sebagai:

Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariatkan, dengan dampak yang ditetapkan pada tempatnya.*7)

Maka, suatu tasharruf qawli (tindakan lisan) dikatakan sebagai akad, jika ada ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) , ijab (penawaran) dari pihak pertama, sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua. Ijab dan qabul ini juga harus dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga halal bagi masing-masing pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan: “Saya jual rumah saya ini kepada anda dengan harga 50 juta”, adalah bentuk penawaran (ijab), maka ketika si pembeli menyakan: “Saya beli rumah anda dengan harga 50 juta”, adalah penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini adalah masing-masing pihak mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual berhak mendapatkan uang si pembeli sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si pembeli berhak mendapatkan rumah si penjual tadi. Inilah bentuk akad yang diperbolehkan oleh syara’.

Di samping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara: zat (barang atau benda) atau jasa (manfaat). Misalnya, akad syirkah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat (barang atau benda), sedangkan akad ijarah adah akad yang dilakukan terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad tersebut statusnya bathil.

Adapun praktek pemakelaran secara umum, hukumnya adalah boleh berdasarkan hadits Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:

“Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsar, makelar), kemudian Rasulullah Saw keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: ‘Wahai para tujjar (bentuk plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual-beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkan dengan sedekah’.”*8)

Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah Saw sebagaimana yang dijelaskan oleh as-Sarakhsi ketika mengemukakan hadits ini adalah:

”Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi (upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun membeli.”*9)

Ulama’ penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyakan:

“Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: saya telah menunjukkan anda pada sesuatu —dengan difathah dal-nya, dalalat(an), dan dilalat(an), serta didahmmah dalnya, dalul(an), atau dululat(an)— jika anda menunjukkan kepadanya, yaitu jika seorang pembeli menunjukkan kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.”*10)

Dari batasan-batasn tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith) . Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al-mutawwith) , maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran.

Hukum Dua Akad Dan Makelar Dalam Praktek MLM

Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:

1. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member —apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain— disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti ini, jelar termasuk dalam kategori hadits: shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits di atas.

2. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk –meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian– dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah (pemakelaran) .

3. Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.

Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, yang jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, maka bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktekkan samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran terhadap pemakelaran) . Karena justru inilah yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu, dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini tidak ada yang terlepas dari praktek ini. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan dengan praktek samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM yang ada saat ini, prakteknya jelas telah menyimpang dari syariat islam. Dengan demikian hukumnya haram.

Kesimpulan

Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya —apakah halal ataukah haram— maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.

Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek muamalahnya, maupun barangnya.

Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran) ; pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram.

Namun, jika ada MLM yang produknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran) . Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan. Masalahnya adakah MLM yang demikian?!


Hafidz Abdurrahman


sumber : http://www.konsulta si.wordpress. com

Selasa, 17 Maret 2009

Bursa Saham Syariah

DI lantai Bursa Efek Jakarta, memang, sudah ada papan yang bernama Jakarta Islamic Index (JII). Tapi, itu bukan berarti syariat Islam telah diterapkan di sana . JII hanya menandakan bahwa emiten yang tercatat di papan itu tak berbisnis yang melanggar syariat Islam. Sementara itu, soal proses perdagangan sahamnya sendiri tak dijamin telah sesuai syariah.

Bursa saham syariah sebenarnya, yang seluruh aspek transaksinya telah sesuai ajaran Islam, direncanakan hadir awal Ramadan ini. Tapi, rencana itu terpaksa ditunda karena peraturannya, yang disusun oleh Self Regulatory Organization (SRO), Dewan Syariah Nasional, dan Bapepam ternyata belum rampung. Menurut Adiwarman Karim, Ketua Dewan Syariah Nasional, kemungkinan baru Desember depan peraturan tersebut selesai. Berdasarkan perkiraan itu, Direktur Utama Bursa Efek Jakarta Erry Firmansyah menargetkan, Bursa Saham Syariah bisa mulai beroperasi Januari 2004.

Harus diakui, transaksi saham emiten yang tercatat di JII saat ini belum memenuhi syariat Islam. Itu karena proses transaksi sahamnya masih mengikuti pola konvensional. Pola perdagangan seperti ini memungkinkan—bahkan menyuburkan—terjadinya aktivitas spekulasi. Dan yang namanya spekulan tak bisa dipandang sebagai investor, meski kegiatan keduanya mirip.

Perbedaan terletak pada spirit yang menjiwai kegiatan jual-beli saham yang dilakukan. Spekulan membeli saham guna mendapat keuntungan dari proses menjualnya di masa mendatang.. Sementara itu, investor membeli saham untuk ikut menanamkan modal dalam sebuah perusahaan.

Menurut Irfan Syauqi Beik—ekonom syariah yang kini sedang mendalami ekonomi Islam di International Islamic University di Islamabad, Pakistan—aktivitas spekulasi dilarang secara tegas dalam Islam. Spekulasi dianggap sebagai kegiatan ekonomi yang tidak berdasarkan hal-hal yang jelas atau termasuk kegiatan yang gharar. Irfan memandang spekulasi sebagai buah dari sikap mental â€ingin cepat kayaâ€. Jika seseorang terjebak pada sikap mental ini, ia akan berusaha dengan menghalalkan segala macam cara tanpa memperhatikan rambu-rambu agama dan etika. Agar tumbuh sehat dan bisa menyemaikan keadilan, dunia usaha harus dibersihkan dari orang-orang berpikiran seperti itu.

TAK ADA PENJUALAN LANGSUNG
Dalam pandangan Islam, bursa saham semata-mata berperan sebagai sarana umat berinvestasi dan ikut menumbuhkan dunia usaha. Keuntungan yang didapat investor haruslah diniatkan berasal dari pembagian dividen yang dibagikan perusahaan, jika perusahaan itu untung.

Memang, pada praktiknya, sulit dibedakan keuntungan seorang investor yang menjual kembali sahamnya dengan keuntungan yang didapat seorang spekulan. Juga, jika kinerja perusahaan memburuk, misalnya, apakah tak boleh investor berpikiran logis untuk menarik dananya guna mengurangi kerugian?

Namun begitu, upaya meminimalkan spekulasi (termasuk perilaku di daerah abu-abu antara spekulasi dan investasi) sebetulnya bisa dilakukan. Instrumen untuk mengurangi kemungkinan spekulasi inilah yang mendasari apakah suatu bursa saham bisa dibilang telah sesuai syariah atau tidak.
Jika hendak dibilang sesuai syariah, bursa harus melarang penjualan dan pembelian saham secara langsung. Dalam bursa saham konvensional, pemegang saham bisa membeli atau menjual saham yang dipegangnya secara langsung. Ia tinggal menghubungi broker atau pialang, beres. Proses transaksi seperti ini membuat orang terpacu untuk berspekulasi karena tahu ia akan bisa membeli dan menjual saham kapan pun ia mau.

Dalam sistem pembelian saham yang sesuai syariah atau tidak langsung, investor yang memegang saham memberikan otoritas kepada agen di lantai bursa untuk membuat deal atas saham-sahamnya. Tugas agen adalah mempertemukan investor itu dengan investor lain yang berminat membeli saham tersebut. Saham hanya bisa dibeli jika memang tersedia (ada yang hendak menjualnya). Demikian pula sebaliknya, saham hanya bisa dijual bila ada investor yang mau membelinya. Jika banyak yang menginginkan saham suatu emiten, para peminatnya akan didaftar. Saham dijual dengan prinsip siapa yang datang duluan akan dilayani terlebih dahulu.

Jadi, ketika kinerja sebuah perusahaan sedang buruk, tak serta merta pemegang saham bisa menjual miliknya. Kalau ada investor lain mau membeli, untunglah ia. Kalau tidak, terpaksa saham yang nilainya menurun itu terus dipegang.

TAK ADA MEKANISME PASAR
Prinsip lain yang membedakan bursa saham syariah dari konvensional adalah cara menentukan harga saham. Di bursa konvensional, harga saham ditentukan mekanisme penawaran dan permintaan. Jika banyak yang berminat terhadap suatu saham, harganya akan naik. Jika terjadi sebaliknya, harga saham jatuh.

Dalam aturan Islam, harga suatu barang harus sesuai dengan nilai intrinsik dari barang yang dijual. Apakah beras dijual di musim panen atau di musim kering, harganya tak boleh berubah dan harus tetap sesuai dengan ongkos produksi ditambah sedikit keuntungan yang hendak diambil si penjual. Penjual tak boleh mengambil keuntungan dari kesulitan pihak lain dalam menentukan harga suatu barang di pasaran. Prinsip ini berlaku juga untuk perdagangan saham.

Nilai saham pada hakikatnya dapat dilihat dari nilai aset yang dimiliki perusahaan. Menurut pakar ekonomi Islam Muhammad Akram, dalam tulisan di jurnal Issues in Islamic Economics; aset perusahaan dihitung dengan formula modal saham awal ditambah keuntungan, dikurangi kerugian, ditambah lagi akumulasi keuntungan, dan kemudian dikurangi akumulasi kerugian. Nilai aset itu kemudian dibagi jumlah saham yang beredar. Hasil pembagian itulah nilai intrinsik saham yang harus digunakan dalam proses perdagangan di lantai bursa.

Harga saham diumumkan setiap kali perusahaan mengumumkan pembukuannya. Di bursa saham syariah, emiten diwajibkan melaporkan kinerja keuangannya setiap 3 bulan. Dengan begitu, dalam satu tahun, harga saham suatu perusahaan hanya berubah 4 kali, sesuai nilai dalam pembukuan terbaru.
Waktu perubahan nilai saham yang sangat lama ini (setiap 3 bulan) diharapkan dapat mengurungkan niat spekulan yang hendak mencari keuntungan dalam jangka pendek.

Sistem penentuan harga seperti ini, memang, akan mengakibatkan suasana bursa menjadi lesu. Tapi itu dapat diatasi dengan cara emiten tak melaporkan performa keuangan secara bersamaan. Jika, katakanlah, ada 30 emiten di bursa saham syariah (sebagaimana yang tercatat di papan JII), itu akan ada 120 kali pengumuman laporan keuangan. Ini berarti setiap minggu akan ada pengumuman laporan keuangan 2 hingga 3 kali. Jumlah itu sudah cukup untuk membuat pelaku pasar terus melek.

Di luar dua prinsip utama di atas, bursa saham syariah melarang berbagai praktik transaksi yang berbau spekulasi. Misalnya, forward transaction atau proses transaksi: dua pihak yang bertransaksi bersepakat melakukan pengiriman saham pada tanggal tertentu di masa mendatang. Juga, bursa saham syariah tak membolehkan transaksi short selling atau menjual saham sebelum saham itu berada di tangan si penjual.

Berdasarkan prinsip-prinsip yang digunakannya, jelas sekali bahwa praktik transaksi bursa saham syariah sama sekali berbeda dengan bursa saham konvensional. Jika itu diterapkan dengan benar, lantai bursa saham syariah sama sekali tak menjanjikan keuntungan yang besar dalam waktu cepat. Untung atau rugi hanya dapat dilihat setiap 3 bulan. Bagi mereka yang memandang kegiatan di bursa sebagai arena berspekulasi yang mendebarkan, mengasyikkan dan serba-cepat, bursa saham syariah sama sekali bukan pilihan.

By : Fatma Dwi Jati

Minggu, 15 Maret 2009

Ngapain seih ngurusin Palestina?!



Kadang, kebanyakan kita berfikir, ngapain sieh ngurusin Palestina? lha, wong di negara kita aja belum beres. Liat tuh bencana di mana-mana, orang miskin makin banyak, pengangguran banyak keliaran, korupsi nggak selesai-selesai, tukang copet beranak pinak, UU BHP jadi kontroversi, anak-anak sekolah masuknya kepagian dan segunung masalah lainnya... eh, ini malah ngurusin Palestina. Siapa tuh? saudara kandung bukan, tetangga jauh juga bukan. Masih mending kalo kenal, sering chatting ato jadi friends di FS atau facebook kita, lha ini... negor aja nggak pernah, eh koq kita bela-belain mereka yah. Sampai pake ngirim-ngirim bantuan segala, ya... obat-obatan- lah, duit-lah, bahan makanan-lah. . bahkan lebih parahnya lagi, sampe ada yang udah siap-siap dikirim Jihad pula. Hmm... Emang.. ngapain sieh sampe bela-belain Palestina segala? Terus gimana sama negara sendiri? Nggak diurusin tuh?

Hmm.. pertanyaan-pertanya an kayak gini nich yang emang ditunggu-tunggu sama orang Zionis Yahudi. Rasa nasionalisme sempit dengan mengatasnamakan negara kemudian kita menjadi kotak-kotak kecil yang menyekat persaudaraan dan kesatuan umat Islam. Hrrggghh... geram, geram, geram!!! Yahudi! Emang dari dulu, tuh kaum ngincer bumi dilahirkannya nabi-nabi pilihan. Kalo saya baca di salah satu tulisan, seenggaknya ada tiga alasan kenapa mereka ngincer dan ngebet banget sama Palestina, khususnya yerusalem.

Pertama Ekonomi. "kota Jerusalem akan menjadi tempat tujuan utama para turis internasional dan para pelancong dunia dalam sejarah keparawisataan" gitu kata Presiden Bill Clinton pas di wawancarai sama Koran Otto Citizen Kanada tanggal 1 Desember 2000. Nah dengan segenap daya dan upaya juga lobby-lobby politik Mr. Clonton ketika itu berusaha keras "merayu" Presiden Yasir Arafat (alm) supaya mau mindahin masjid Al-Aqsho dari tempatnya di Yerusalem.

Tapi, selidik punya selidik, ternyata si Zionis ini pengen jadi pemegang koordinator tunggal untuk ngurusin para "Haji" Kristiani ke sana, karena tempat itu juga bersejarah buat umat kristiani. Disamping itu mereka juga ngurusin kunjungan umat Islam untuk "menyempurnakan" Haji-nya. Nah secara ekonomi, ini bakalan datengin devisa yang nggak kecil buat si pemegang kekuasaan di sini, jadi bukan kunjungan para turis internasional seperti yang diungkapkan Bill Clinton.

Kedua, Politis. Alasan ini kita bisa liat lewat program mereka buat bikin kota Jerusalem lama —yang memiliki posisi yang strategis dan sejarah panjang— untuk jadi "Ibu Kota Negara yang Abadi" ! (itu menurut keyakinan mereka). Nah dari sanalah mereka menguasai seluruh wilayah sekitarnya. Jadi mereka mau bikin pusat pemerintahan dunia gitu, yaa... lewat Yerusalem ini.

Ketiga, Historis. Dengan alasan perang budaya, maka merebut kota suci Jerusalem dan menguasai seluruh barang bersejarah umat Islam dan Kristen di Palestina bisa dibilang merupakan kemenangan budaya Barat atas budaya Islam, dengan keunggulan dan hegemoni politiknya, Zionis Yahudi ini mengajak sekutunya untuk mengusik "dendam sejarah masa lalu" yang berkobar dalam jiwa dan dada mereka atas budaya Islam yang mengalahkan mereka dalam perang salib delapan abad yang lalu.

Terus.. apa hubungannya sama kita? Iya.. kita orang Indonesia? Okeh... sedikit kisah dari masa lalu saya ambil.. eng.. ing.. eng..

Kayak tadi yang pernah dibilang di awal, sejak jaman kekuasaan Islam, si Yahudi ini emang ngincer tanah Palestina dan nggak pernah berhasil. Kenapa? karena umat Islam ketika itu nggak pernah mikir secara lokal, nasionalisme sempit dan terkotak-kotak kayak sekarang ini.

Pernah suatu ketika, pada masa kekhalifahan Turki Usmani sekelompok Yahudi datang ngemis-ngemis minta tempat tinggal di wilayah Palestina kepada Sultan Abdul Hamid II. Tapi dengan gagah perkasanya sang sultan yang adil itu menjawab,”Walaupun kalian iris tubuhku menjadi potongan-potongan kecil, demi Allah tidak akan aku izinkan kalian tinggal di negeri itu”. ALLAHU AKBAR..!

Hingga satu agenda yang nggak pernah bisa dilupakan oleh Yahudi yaitu mereka harus, wajib, kudu, mau nggak mau, mesti menumbangkan kekhalifahan Islamiyah. Dan agenda itu akhirnya berhasil diwujudkan. Pada tahun 1924, Mustafa Kamal Ataturk telah membubarkan khilafah Islamiyah terakhir dalam sejarah panjang umat Islam.

Alhasil, cerita selanjutnya, kita pun disetir, diobok-obok, dipecah-belah oleh penjajah barat sampe akhirnya umat Islam ini mulai nggak ngerasa satu tubuh. Nah.. Pas penjajah pergi, kita ikut mewarisi sebuah kepandiran berpikir. Dari yang tadinya sebuah khilafah Islamiyah besar dan ditakuti lawan, menjadi ratusan negara kecil-kecil yang rata-rata miskin, lemah, terbelakang dan bodoh. Dari yang wilayahnya terbentang luas dari Maroko hingga Maroke, menjadi negara bonsai yang nggak punya kekuatan apa-apa. Udah gitu, terlilit hutang luar negeri pula SDM-nya kacau balau. Kekayaan alamnya pun habis dijarah. Hadooohh.. plis dech...

Emang... nggak salah ramalan Rasulullah SAW 1400 tahun silam "Suatu saat kelak umat Islam akan menjadi binatang yang dikerubuti oleh sekawanan binatang pemangsa. Rasa takut dan gentar telah Allah SWT cabut dari hati musuh-musuh Islam itu. Dan sebaliknya Allah SWT memasukkan penyakit wahan ke dalam jiwa umat Islam. Yaitu cinta dunia dan takut mati."

Ehm.. Kalo dulu Yahudi susah banget untuk bikin rumah di Palestina, lantaran mereka tahu bakalan perang lawan 1 Milyar umat Islam di seluruh dunia, tapi dengan Al-Gahzwul Fikri (perang pemikiran), Yahudi dunia berhasil melokalisir peperangan itu hanya dengan negara-negara arab saja.

Terus opini makin digede-gedein sampe perang itu cuma dilokalisir sama beberapa gelintir negara yang emang berbatasan langsung sama wilayah Palestina aja, kayak Mesir, Suriah, Yordan dan Libanon. Nah, tahap selanjutnya lebih parah lagi, negara-negara tadi keabisan nafas terus berhenti perang sampe akhirnya malah berdamai dan bikin hubungan diplomatik pula sama si Zionis penjarah itu.

Akhir cerita, perang itu tinggal antara yahudi dengan bangsa Paletina. Nyaris nggak ada lagi perlawanan berarti dari umat Islam kecuali lemparan baru dari tangan-tangan mungil anak-anak HAMAS.

Mmhh.... Balik lagi ke awal. Masih sempet nanya "Ngapain sieh ngurusin Palestina?" Berbahagia-lah Zionis Yahudi. Mereka bersuka cita karena solidaritas dan persatuan umat Islam benar-benar telah lenyap dimakan nasionalisme sempit karya mereka juga. Artinya, penjajahan terhadap komunitas umat Muhammad ini masih benar-benar berjalan sesuai dengan rencana besar mereka. Karena kalau umat Islam udah nggak peduli lagi sama nasib saudaranya, maka makin jauh pula pertolongan Allah SWT. Wallahu'alam Bishowab


TIDAK ADA BAHASA DAMAI UNTUK ZIONIS ISRAEL,
YANG MEREKA KENAL ADALAH BAHASA TANK, ROKET, RUDAL
DAN BATU-BATU INTIFADHA


http://farizal- alboncelli. blogspot. com/


FARIZAL ALBONCELLI
In tansurullah yansurukum wayu sabit akdamakum
Executive Secretary MGe-Event, www.mge-event. com
Blog: http://farizal- alboncelli. blogspot. com/, FS: farizal.info@ yahoo.com

Kamis, 05 Maret 2009

Ekonomi Syariah vs Ekonomi Konvensional

Kita sudah sering mendengar istilah bank syariah. Pertanyaan terbesar yang terngiang yaitu apa perbedaan antara bank syariah dan bank konvensional?

Sebelumnya kita bahas dulu pengertian bank. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka me-ningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan bank dengan prinsip syariah merupakan aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.

Dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 275 disebutkan bahwa

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Dari ayat di atas, sudah jelas bahwa riba tidak sesuai dengan syariat Islam. Dan perbedaan paling menyolok yang dipahami masyarakat antara Bank Syariah dan Bank Konvensional terletak pada bunga.

Penolakan Islam terhadap riba dikarenakan praktek riba tidak men-cerminkan keadilan dan mencegah pemerataan kemakmuran. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh : 1) Penentuan bunga dilakukan pada waktu akad berdasar-kan asumsi usaha tersebut pasti menghasilkan keuntungan. 2) Besarnya bunga di-tentukan berdasarkan presentasi dari modal yang dipinjamkan. 3) Jumlah bunga yang dibayarkan adalah tetap tanpa mempertimbangkan apakah usaha yang dijalankan mendatangkan keuntungan atau kerugian. 4) Bunga merupakan usaha yang nyaris membebankan seluruh resiko kepada salah satu pihak (debitur). 5) Konsep bunga dapat menyebabkan keterpurukan salah satu pihak pada jerat hutang. Konsep bunga/riba menempatkan satu pihak sebagai pihak yang pasti tetap memperoleh keuntungan meskipun pihak lain mengalami kerugian

Berseberangan dengan konsep di atas, Bank Syariah memperkenalkan konsep bagi hasil yang lebih mencerminkan keadilan. Hal tersebut antara lain karena : 1) Hal yang dipersetujukan adalah pembagian keuntungan dan kerugian sesuai dengan persentasi yang disepakati. Ini menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama terhadap kemungkinan hasil dari usaha. 2) Penentuan besarnya nisbah (rasio) dilakukan pada saat akad dengan memperhitungkan kemungkinan untung dan rugi. 3) Besarnya bagi hasil ditentukan dari persentase keuntungan usaha. 4) Besarnya keuntungan yang diperoleh pemilik modal akan meningkat sesuai dengan besarnya keuntungan yang diperoleh. (EWH-dari berbagai sumber) __FoSEI__Erlina Wati