Selasa, 17 Maret 2009

Bursa Saham Syariah

DI lantai Bursa Efek Jakarta, memang, sudah ada papan yang bernama Jakarta Islamic Index (JII). Tapi, itu bukan berarti syariat Islam telah diterapkan di sana . JII hanya menandakan bahwa emiten yang tercatat di papan itu tak berbisnis yang melanggar syariat Islam. Sementara itu, soal proses perdagangan sahamnya sendiri tak dijamin telah sesuai syariah.

Bursa saham syariah sebenarnya, yang seluruh aspek transaksinya telah sesuai ajaran Islam, direncanakan hadir awal Ramadan ini. Tapi, rencana itu terpaksa ditunda karena peraturannya, yang disusun oleh Self Regulatory Organization (SRO), Dewan Syariah Nasional, dan Bapepam ternyata belum rampung. Menurut Adiwarman Karim, Ketua Dewan Syariah Nasional, kemungkinan baru Desember depan peraturan tersebut selesai. Berdasarkan perkiraan itu, Direktur Utama Bursa Efek Jakarta Erry Firmansyah menargetkan, Bursa Saham Syariah bisa mulai beroperasi Januari 2004.

Harus diakui, transaksi saham emiten yang tercatat di JII saat ini belum memenuhi syariat Islam. Itu karena proses transaksi sahamnya masih mengikuti pola konvensional. Pola perdagangan seperti ini memungkinkan—bahkan menyuburkan—terjadinya aktivitas spekulasi. Dan yang namanya spekulan tak bisa dipandang sebagai investor, meski kegiatan keduanya mirip.

Perbedaan terletak pada spirit yang menjiwai kegiatan jual-beli saham yang dilakukan. Spekulan membeli saham guna mendapat keuntungan dari proses menjualnya di masa mendatang.. Sementara itu, investor membeli saham untuk ikut menanamkan modal dalam sebuah perusahaan.

Menurut Irfan Syauqi Beik—ekonom syariah yang kini sedang mendalami ekonomi Islam di International Islamic University di Islamabad, Pakistan—aktivitas spekulasi dilarang secara tegas dalam Islam. Spekulasi dianggap sebagai kegiatan ekonomi yang tidak berdasarkan hal-hal yang jelas atau termasuk kegiatan yang gharar. Irfan memandang spekulasi sebagai buah dari sikap mental â€ingin cepat kayaâ€. Jika seseorang terjebak pada sikap mental ini, ia akan berusaha dengan menghalalkan segala macam cara tanpa memperhatikan rambu-rambu agama dan etika. Agar tumbuh sehat dan bisa menyemaikan keadilan, dunia usaha harus dibersihkan dari orang-orang berpikiran seperti itu.

TAK ADA PENJUALAN LANGSUNG
Dalam pandangan Islam, bursa saham semata-mata berperan sebagai sarana umat berinvestasi dan ikut menumbuhkan dunia usaha. Keuntungan yang didapat investor haruslah diniatkan berasal dari pembagian dividen yang dibagikan perusahaan, jika perusahaan itu untung.

Memang, pada praktiknya, sulit dibedakan keuntungan seorang investor yang menjual kembali sahamnya dengan keuntungan yang didapat seorang spekulan. Juga, jika kinerja perusahaan memburuk, misalnya, apakah tak boleh investor berpikiran logis untuk menarik dananya guna mengurangi kerugian?

Namun begitu, upaya meminimalkan spekulasi (termasuk perilaku di daerah abu-abu antara spekulasi dan investasi) sebetulnya bisa dilakukan. Instrumen untuk mengurangi kemungkinan spekulasi inilah yang mendasari apakah suatu bursa saham bisa dibilang telah sesuai syariah atau tidak.
Jika hendak dibilang sesuai syariah, bursa harus melarang penjualan dan pembelian saham secara langsung. Dalam bursa saham konvensional, pemegang saham bisa membeli atau menjual saham yang dipegangnya secara langsung. Ia tinggal menghubungi broker atau pialang, beres. Proses transaksi seperti ini membuat orang terpacu untuk berspekulasi karena tahu ia akan bisa membeli dan menjual saham kapan pun ia mau.

Dalam sistem pembelian saham yang sesuai syariah atau tidak langsung, investor yang memegang saham memberikan otoritas kepada agen di lantai bursa untuk membuat deal atas saham-sahamnya. Tugas agen adalah mempertemukan investor itu dengan investor lain yang berminat membeli saham tersebut. Saham hanya bisa dibeli jika memang tersedia (ada yang hendak menjualnya). Demikian pula sebaliknya, saham hanya bisa dijual bila ada investor yang mau membelinya. Jika banyak yang menginginkan saham suatu emiten, para peminatnya akan didaftar. Saham dijual dengan prinsip siapa yang datang duluan akan dilayani terlebih dahulu.

Jadi, ketika kinerja sebuah perusahaan sedang buruk, tak serta merta pemegang saham bisa menjual miliknya. Kalau ada investor lain mau membeli, untunglah ia. Kalau tidak, terpaksa saham yang nilainya menurun itu terus dipegang.

TAK ADA MEKANISME PASAR
Prinsip lain yang membedakan bursa saham syariah dari konvensional adalah cara menentukan harga saham. Di bursa konvensional, harga saham ditentukan mekanisme penawaran dan permintaan. Jika banyak yang berminat terhadap suatu saham, harganya akan naik. Jika terjadi sebaliknya, harga saham jatuh.

Dalam aturan Islam, harga suatu barang harus sesuai dengan nilai intrinsik dari barang yang dijual. Apakah beras dijual di musim panen atau di musim kering, harganya tak boleh berubah dan harus tetap sesuai dengan ongkos produksi ditambah sedikit keuntungan yang hendak diambil si penjual. Penjual tak boleh mengambil keuntungan dari kesulitan pihak lain dalam menentukan harga suatu barang di pasaran. Prinsip ini berlaku juga untuk perdagangan saham.

Nilai saham pada hakikatnya dapat dilihat dari nilai aset yang dimiliki perusahaan. Menurut pakar ekonomi Islam Muhammad Akram, dalam tulisan di jurnal Issues in Islamic Economics; aset perusahaan dihitung dengan formula modal saham awal ditambah keuntungan, dikurangi kerugian, ditambah lagi akumulasi keuntungan, dan kemudian dikurangi akumulasi kerugian. Nilai aset itu kemudian dibagi jumlah saham yang beredar. Hasil pembagian itulah nilai intrinsik saham yang harus digunakan dalam proses perdagangan di lantai bursa.

Harga saham diumumkan setiap kali perusahaan mengumumkan pembukuannya. Di bursa saham syariah, emiten diwajibkan melaporkan kinerja keuangannya setiap 3 bulan. Dengan begitu, dalam satu tahun, harga saham suatu perusahaan hanya berubah 4 kali, sesuai nilai dalam pembukuan terbaru.
Waktu perubahan nilai saham yang sangat lama ini (setiap 3 bulan) diharapkan dapat mengurungkan niat spekulan yang hendak mencari keuntungan dalam jangka pendek.

Sistem penentuan harga seperti ini, memang, akan mengakibatkan suasana bursa menjadi lesu. Tapi itu dapat diatasi dengan cara emiten tak melaporkan performa keuangan secara bersamaan. Jika, katakanlah, ada 30 emiten di bursa saham syariah (sebagaimana yang tercatat di papan JII), itu akan ada 120 kali pengumuman laporan keuangan. Ini berarti setiap minggu akan ada pengumuman laporan keuangan 2 hingga 3 kali. Jumlah itu sudah cukup untuk membuat pelaku pasar terus melek.

Di luar dua prinsip utama di atas, bursa saham syariah melarang berbagai praktik transaksi yang berbau spekulasi. Misalnya, forward transaction atau proses transaksi: dua pihak yang bertransaksi bersepakat melakukan pengiriman saham pada tanggal tertentu di masa mendatang. Juga, bursa saham syariah tak membolehkan transaksi short selling atau menjual saham sebelum saham itu berada di tangan si penjual.

Berdasarkan prinsip-prinsip yang digunakannya, jelas sekali bahwa praktik transaksi bursa saham syariah sama sekali berbeda dengan bursa saham konvensional. Jika itu diterapkan dengan benar, lantai bursa saham syariah sama sekali tak menjanjikan keuntungan yang besar dalam waktu cepat. Untung atau rugi hanya dapat dilihat setiap 3 bulan. Bagi mereka yang memandang kegiatan di bursa sebagai arena berspekulasi yang mendebarkan, mengasyikkan dan serba-cepat, bursa saham syariah sama sekali bukan pilihan.

By : Fatma Dwi Jati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar